
Jakarta, Beritasatu.com – Pandemi Covid-19 menjadi momentum baru perubahan bisnis terutama usaha mikro kecil menengah (UMKM). Walaupun bukan hal yang baru mengenai bisnis basis teknologi, bisnis UMKM atau kerap dikenal dengan bisnis rumahan, namun hal inilah yang sekarang menjadi perhatian baik dari skala rumah tangga sampai dengan skala nasional.
Apalagi, data yang ditunjukkan oleh Kementerian Koperasi dan UKM, UMKM secara keseluruhan mengalami perkembangan dan pertumbuhan terus menerus. Misalnya pada tahun 2010, total jumlah unit UMKM sebanyak 52 juta unit.
Lalu dalam pemberitaan terakhir, jumlah tersebut sudah mencapai angka 63 juta tahun 2017 dan sampai 2020 di posisi 64 juta unit. Dari jumlah itu, merupakan 99,9% badan usaha di Indonesia. Artinya hanya 0,1% perusahaan yang berada di skala besar.
Namun, untuk bisa maju dan berkembang, seorang pelaku usaha ditegaskan harus melek finansial. Konsultan keuangan Temy Setiawan menjelaskan, melek finansial terdiri dari tiga konsep dasar yakni mengetahui investasi, mengelola arus kas dan proyeksinya, serta menghitung laba rugi. Pasalnya, aspek keuangan merupakan nafas sebuah bisnis.
“Ketika bisnis sedang turun karena hadapi Covid, proyek juga goyang, itu harus cepat screening keungan. Itu yang bisa menetukan anda bisa eksis atau perlu buru-buru tarik mundur sebelum makin rugi,” ujarnya, Minggu (21/3/2021).
Investasi, dalam hal ini jelas Temy adalah segala sumber daya yang dimiliki entitas bisnis untuk menjalankan usaha. Tidak selalu soal uang, investasi juga mencakup ide, tenaga, bahan baku yang dimiliki, dan waktu.
Dalam bisnis, dosen Universitas Bunda Mulia itu menambahkan, investasi harus dapat dibedakan dari aliran kas yang diterima atau laba rugi dan perlu dihitung titik pengembalian kembali investasi.
Pebisnis harus dapat membedakan cash flow, dan laba rugi baik dari segi tujuan penyusunan dan manfaat informasi yang diperoleh. Kegagalan dalam pemahaman keuangan dasar tersebut menurutnya bisa berdampak pada hancurnya bisnis.
Kendati demikian, dia berpendapat bahwa perusahaan yang arus kasnya lancar belum tentu bisnis tersebut layak. Selain itu, perusahaan dengan laba yang tinggi juga belum tentu memiliki arus kas yang lancar. Demikian juga perusahaan yang memiliki kerugian, belum tentu memiliki arus kas yang buruk.
Di sisi lain, UMKM yang gagal, diakuinya bisa berlanjut dan sukses jika sang pemilik menyadari kegagalan dan ada dana cadangan. Namun, nyatanya banyak pelaku UMKM di Indonesia yang tidak memiliki dana cadangan sehingga saat bisnisnya goyah sampai harus menjual aset pribadinya agar bisa tetap usaha.
Lebih lanjut, menurut Temy, di era saat ini di mana banyak faktor yang mendorong majunya perkembangan UMKM di Indonesia, seperti misalnya pemanfaatan sarana teknologi, informasi dan komunikasi, kemudahan peminjaman modal usaha, dan menurunnya tarif PPh final, seseorang bisa menjalankan usahanya dengan dibantu konsultan keuangan.
Apalagi, investasi harus diingat bahwa dia ada jangka waktu dan berlangsung jangka panjang, serta harus adaptif. Dalam bisnis atau keuangan dikenal sebagai break even point (BEP) atau return of investment (ROI). Itu akan menentukan fisibilitas dari bisnis yang dijalankan.
”Pemain UMKM yang berhasil bohong kalau dia tidak punya kemampuan sebagai enterpreneur karena untuk jadi enterpreneur itu sulit, makanya banyak bisnis yang lebih banyak gagal daripada berhasilnya. Karena itu adalah skill, tapi bukan berarti yang tidak punya skill tidak bisa berhasil. Orang yang tidak punya skill bisa berhasil kalau dia bisa belajar atau bisa menyewa orang yang bisa me-manage,” katanya.
Untuk melihat article secara lengkap, klik link di bawah ini.