JAKARTA – Sejak pertama kali kasus pandemi Covid-19 melanda Indonesia, dampaknya perlahan menghantam banyak sektor. Selain dunia kesehatan dengan belasan ribu korban meninggal, wabah tersebut juga sangat memukul perekonomian nasional. Tidak hanya dirasakan perusahaan atau korporasi besar, dampaknya juga dirasakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) .
Merujuk dari data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah UMKM mencapai 64 juta. Angka tersebut mencapai lebih dari 90% dari keseluruhan usaha yang beroperasi di Indonesia dan berkontribusi 97% terhadap total tenaga kerja dan 60% PDB nasional.
Namun, selama pandemi Covid-19 ini, sektor UMKM paling terdampak. Banyak dari pelaku usaha yang harus gulung tikar karena permintaan jatuh. Berdasarkan perkiraan Kementerian Koperasi dan UKM, hingga Oktober 2020 ada sekitar 90% UMKM yang kegiatan usahanya terganggu akibat pandemi.
Bahkan, pemerintah secara khusus telah mengalokasikan stimulus sebesar Rp123,46 triliun untuk mendongkrak sektor UMKM melalui dana pemulihan ekonomi Nasional (PEN). Namun, upaya membangkitkan UMKM itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Konsultan Akuntasi dan Manajemen Temy Setiawan menilai, sulitnya UMKM untuk bangkit disinyalir masih bisa berlanjut selama pandemi belum tertangani. Meski pemerintah sudah menggelontorkan dana bantuan, namun tidak menjadi acuan akan mengerek sektor tersebut pulih sepenuhnya.
Bukan lantaran nilai bantuan, Temy menduga, salah satu persoalannya, yaitu pelaku UMKM yang belum sepenuhnya paham tentang pentingnya pengelolaan keuangan ataucash flow, akuntansi, dan investasi. Padahal, lanjut dia, tiga hal itu sangat penting dalam membangun roda usaha agar bertahan dan berkembang.
Dosen Universitas Bunda Mulia itu menegaskan bahwa akuntansi bukan sekedar ilmu mengenai hitung keuangan. Lebih dari itu, pemahaman tentang menjaga atau melindungi aset usaha untuk jangka panjang.
“Makanya, enggak jarang orang yang buka UMKM begitu dapat pinjaman atau bantuan, belum tentu bisa bertahan lama. Bisa aja satu atau dua tahun langsung tutup karena enggak paham kalau tiga konsep tadi sangat penting dan jadi satu bagian. Beda dengan perusahaan besar, mereka sudah menerapkan tiga konsep itu makanya ada divisi berbeda dalam pengelolaannya,” ujarnya.
Temy tidak menyoalkan adanya kucuran stimulus dari pemerintah maupun bantuan perusahaan melalui CSR (corporate social responsibility). Namun, ia mendorong mereka agar tetap bertanggung jawab secara moral.
“Jangan hanya kasih bantuan, pinjaman aja. Tapi juga bertanggung jawab secara moral supaya pelaku UMKM itu bisa berkembang. Misalnya, memberikan pendampingan atau training pengelolaan operasional, keuangan secara jangka panjang,” celetuk penulis buku Mahir Akuntasi itu.
Sejauh ini, menurut pengamatan Temy, belum ada kewajiban pertanggungjawaban moral akan setiap bantuan yang diberikan terhadap UMKM. Padahal, bisnis terus berkembang secara dinamis.
Lantaran itu, edukasi dan pendampingan sangat dibutuhkan para pelaku UMKM. Mereka membutuhkan tutor sehingga bisa memahami pengelolaan kas, sehingga bisa mengatur keuangan, kreatif dan bisa memanfaatkan peluang untuk berinvestasi demi bertahan di tengah persaingan usaha saat ini yang kiat sengit di era digitalisasi dan pandemi saat ini.
Untuk melihat article secara lengkap, klik link di bawah ini.