Mahir Akuntansi

JAKARTA – Memulai usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dapat dimulai dari skala kecil, misalnya dari rumah. Tidak juga harus memiliki toko fisik di tahap awalnya. Apalagi di era digital saat ini, pemasaran hingga transaksi jual beli pun sudah mulai beralih secara daring (online).

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM serta Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017, kategori usaha di Indonesia yang paling banyak yaitu UMKM yang mencapai hampir 63 juta usaha atau sekitar 99,9%. Jauh lebih besar ketimbang usaha besar hanya sekitar 5.460 unit atau 0,01 persen.

Namun, di masa pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020, para pelaku UMKM juga ikut terdampak. Tidak sedikit yang akhirnya harus berhenti alias gulung tikar. 

Konsultan keuangan Temy Setiawan menilai pandemi menjadi momentum agar pelaku UMKM berinovasi. Salah satunya beralih ke digital. Faktor perkembangan UMKM saat ini didukung dengan pemanfaatan sarana teknologi, informasi dan komunikasi (TIK). Generasi saat ini sudah banyak yang melek teknologi. Karena itu, pola berdagang saat ini sudah mulai beralih ke digital.

“Bukan era atau budaya bisnis yang berubah, tetapi pandemi ini justru pemantik momentum untuk lebih beralih ke digital, mulai go digital. Dengan adanya kemajuan TIK, kondisi bisnis sudah berkembang pesat. Harusnya pelaku bisnis semakin termotivasi untuk meningkatkan bisnisnya,” papar Temy dalam diskusi virtual Smart Kelola Keuangan untuk Bisnis Rumahan, Sabtu (20/3/2021).

Saat ini pola konsumsi sudah berubah. Transaksi sudah lebih beralih ke daring. Tidak lagi harus berkunjung ke toko fisik (offline). Bahkan, layanan drive thru sudah kian banyak sehingga semakin memudahkan bagi konsumen. Jika mampu beradaptasi, pengelolaan bisnis bisa berjalan dengan baik.

Kendati begitu, Dosen Universitas Bunda Mulia itu menilai pelaku UMKM juga harus paham dalam menjalankan bisnis. Tidak hanya mempertimbangkan dari aspek operasional, melainkan juga pengelolaan finansialnya agar mampu bersaing, bertahan, dan makin tumbuh.

Menurut dia, banyak bisnis yang mendapat sumber pendanaan tetapi pengelolaan keuangannya tidak tepat. Padahal, kunci keuangan bisnis UMKM itu terletak pada investasi, arus kas (cash flow), dan laba rugi. Selain itu, perkembangan UMKM saat ini juga didukung dengan kemudahan peminjaman modal usaha. Kemudian, menurunnya tarif PPH Final.

UMKM itu kadang sasaran dari bantuan investor, perbankan, hingga pemerintah. Mendapatkan sumber pendanaan tanpa pengelolaan keuangan juga bisa menjadi masalah. Aspek keuangan itu menjadi salah satu kunci demi memudahkan mendapatkan akses pinjaman modal dan memanfaatkan tarif PPh Final. Harus kuasai dari aspek keuangannya,” jelasnya.

Temy berpendapat bahwa perusahaan yang arus kasnya lancar belum tentu bisnis tersebut layak. Selain itu, perusahaan dengan laba yang tinggi juga belum tentu memiliki arus kas yang lancar. Demikian juga perusahaan yang memiliki kerugian, belum tentu memiliki arus kas yang buruk.

“Laba perusahaan yang tinggi belum tentu cash flow-nya lancar. Sebaliknya, perusahaan yang rugi, belum tentu cash flow-nya buruk. Cash flow lancar, belum tentu fisibel. Cash flow dan laba rugi itu hal yang berbeda,” ujar dia.

Di sisi lain, ia mengingatkan calon pebisnis agar harus siap rugi. Menurutnya, keberhasilan bisnis tidak hanya dipengaruhi barang atau jasa yang dijual, kekuatan finansial, kemampuan marketing, tapi juga dari pengukuran investasi yang tepat serta pengelolaan keuangan yang tepat.

Investasi adalah segala sumber daya yang dimiliki entitas bisnis untuk menjalankan usaha. Tidak selalu soal uang, investasi juga mencakup ide, tenaga, bahan baku yang dimiliki, dan waktu.

“Segala sumber daya yang kita masukkan dalam bisnis adalah investasi. Investasi ada yang bisa dan tidak bisa diukur dengan uang. Yang tidak dinilai dengan uang misalnya skill, tenaga,” katanya. 


Lantaran itu, Temy menegaskan calon pebisnis sejak awal harus menentukan proyeksi waktu tahap balik modal. Dalam bisnis atau keuangan dikenal sebagai break even point (BEP) atau return of investment (ROI). Itu akan menentukan fisibilitas dari bisnis yang dijalankan. Menurut dia, pebisnis cari target waktu terpendek untuk pada tahap pengembalian investasi.

“Kegagalan bisnis UMKM banyak terjadi karena salah mengestimasi waktu untuk mengukur fisibilitas bisnis. Apabila titik pembayaran kembali di atas 2 tahun, maka bisnis tidak layak atau tidak fisibel,” tandasnya.

 

Untuk melihat article secara lengkap, klik link di bawah ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *